Perempuan Papua dan Trigatra Kesadaran

Ilustrasi perempuan melanesia di Papua. Foto: MS

BERBICARA mengenai perempuan Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat), yang pasti dengan lekas terbersit di pikiran kita adalah perempuan dengan sosok tubuh yang kasap, hitam, berambut keriting, kasar, rewel, tidak mumpuni, tidak berdaya dan lain-lain. Hanya segelintir orang yang mempersepsikan perempuan dengan label yang berbanding balik. Tapi pada intinya, orang melabelkan sesuatu berdasarkan apa yang dilihat, didengar, diamati dan dipahaminya. Jadi, pemahaman kebanyakan orang seperti yang disebutkan diatas tidak bisa dengan serta-merta ditentang, sebab yang dipersepsikan mereka adalah tentu berdasarkan apa yang mereka lihat, dengar, amati dan pahami.

Saya juga mau katakan disini bahwa orang mau dipahami kemudian dilabeli seperti apa dan bagaimana, itu tergantung dari orang itu sendiri. Dan dia mau di kasta yang mana tergantung dari sejauh mana dia berusaha menempatkan diri. Sekarang yang dititikberatkan disini adalah kaum parempuan Papua. Secara fisik maupun psike, mereka beragam adanya. Oleh sebab itulah disini penulis sengaja memilah mereka menjadi tiga: Kesadaran Magis,  Kesadaran Naif dan Kesadaran Kritis [1].

Perempuan Papua dengan Kesadaran Magis

Perempuan yang memiliki Kesadaran Magis yaitu mereka yang tidak mampu memahami realitas sekaligus eksistensi mereka sendiri. Bahkan dalam menghadapi kehidupan sehari-harinya, mereka lebih meyakini pada kekuatan takdir yang telah menentukan. Mereka percaya bahwa hidup miskin, bodoh, terbelakang, tertindas dan sebagainya adalah suatu suratan takdir yang tidak bisa diganggu gugat. Kesadaran ini merupakan jenis kesadaran yang paling determinis.

Masih banyak perempuan Papua yang dihinggapi kesadaran magis. Mereka tentunya yang belum memiliki pengetahuan “yang membebaskan”, tinggalnya di kampung-kampung, dan masih diperbudak dalam kungkungan budaya patriarki. Bekerja di kebun, menyiapkan mekanan untuk keluarga, mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), melayani suami, mengandung, melahirkan, menyusui, membesarkan anak dengan jaminan asupan gizi yang belum tentu memadai, dijadikan istri kesekian dari sang suami dan lain-lain adalah suatu keharusan yang mau tidak mau mesti mereka tunaikan.

Sebab siapa bisa membangkang dan memprotes? Sedangkan kesadaran mereka (perempuan Papua) toh memang cuma sebatas itu. Mereka menganggap semua itu memang harus dilakukan, karena itu adalah tugas dan tanggungjawab yang harus mereka embani. Lagi pula istri mana yang bisa kepala batu? Sementara suami mereka dengan sikapnya yang banal dan sewenang-wenang mengawasi setiap tindak-tanduk mereka.

Ini memang konyol. Tapi inilah yang sedang terjadi di Papua, bahkan mungkin juga di daerah-daerah lain. Minimnya orang-orang yang mau memberikan mereka pemahaman berupa penyuluhan-penyuluhan, dll. membuat mereka (perempuan Papua) konstan di satu titik. Kita lihat sekarang kian bermunculan asosiasi feminisme atau gerakan-gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria. Ini bagus. Tapi pertanyaannya, apakah mereka nanti bisa berkontribusi dengan entitas yang tidak monoton beretorika di media sosial dan media-media lainnya, tapi langsung “turun ke lapangan”, dan menggelar kegiatan-kegiatan yang “membebaskan” sesama mereka yang masih kolot? Semoga.

Perempuan Papua dengan Kesadaran Naif

Perempuan yang memiliki Kesadaran Naif adalah mereka yang hanya bisa mengerti namun kurang bisa menganalisa persoalan-persoalan sosial, yang berkaitan dengan unsur-unsur yang mendukung suatu problem sosial. Mereka baru sekedar mengerti bahwa mereka tengah tertindas, terbelakang dan itu tidak lazim. Hanya saja mereka kurang mampu untuk memetakan secara sistematis, persoalan-persoalan yang mendukung suatu problem sosial itu. Apalagi untuk mengajukan suatu tawaran solusi dari problem sosial.

Untuk mereka yang di kelompok ini pasti dihinggapi sikap kurang kritis, acuh tak acuh dan terlena dengan sesuatu yang bagi mereka nikmat. Lain penyebabnya juga adalah karena mereka kurang suka membaca dan jarang libatkan diri dalam diskusi-diskusi yang ada sangkut-pautnya dengan eksistensi perempuan. Disini muncul pertanyaan, seberapa banyak perempuan Papua yang tergolong dalam kelompok ini? Mungkinkah jika saya perempuan, apakah saya juga termasuk?

Masih sedikit mending apabila mereka yang memiliki kesadaran naif adalah mereka yang memang belum pernah mencecap jenjang pendidikan formal. Sebab mereka belum mengalami stimulan demi stimulan lewat setiap mata pelajaran yang diajarkan di sekolah/kampus. Tapi bagaimana jika mereka yang terpelajar namun tidak reaktif terhadap pelbagai masalah yang membelenggu mereka? Semoga bukan banyak kaum “terpelajar tapi” yang termasuk dalam golongan ini.

Mereka tahu bahwa mereka sedang diperlakukan secara tidak adil. Mereka sadar bahwa ruang serta arah gerak mereka dibatasi. Mereka juga sesungguhnya sadar bahwa kaum mereka belum sepenuhnya bebas dan dikendalikan oleh kaum pria. Apa yang bisa mereka perbuat? Ini agaknya mustahil. Harus ada yang memberi mereka pemahaman. Harus ada yang memantik mereka. Harus ada yang menggerakkan mereka. Membenahi mereka bukan dalam arti beralih dari Tupoksi mereka sebagai perempuan secara antero, tapi setidaknya bikin mereka memahami eksistensi mereka, dan sedikit bergeser dari posisi semula mereka. Toh bukan salah kalau mereka juga jadi pemangku jabatan atau apapun yang lain di suatu tatanan pemerintahan, walau jabatan tidak bisa dijadikan satu-satunya indikator. Banyak pemimpin perempuan hebat yang bisa dijadikan inspirasi: Cleopatra (69 -30 SM), yang dikenal sebagai pemimpin wanita hebat yang mampu mempertahankan kerajaan Mesir dari ancaman kekuasaan Romawi, dan juga pandai berpolitik dan mempunyai dua sekutu pemimpin besar dari Roma yaitu Marc Anthony dan Julius Caesar. Mary Wollstonecraft (1759-1797), yang adalah seorang tokoh perempuan pejuang sejati dalam bidang hak-hak asasi perempuan, dan juga pelopor dalam pemikiran hak asasi perempuan dan menerbitkan buku berjudul “Pembelaan Hak-hak Perempuan” yang kemudian menjadi buku yang sangat penting dalam sejarah perjuangan hak perempuan. Susan B. Anthony (1820-1906), yang adalah aktivis dan pejuang perempuan dalam hak-hak asasi perempuan dan peran perempuan dalam memberikan pendapat, juga kerja kerasnya yang militan dalam memperjuangkan hak perempuan yang membuatnya berkeliling Amerika dan berpidato yang tak terhitung jumlahnya tentang hak asasi perempuan, dan masih banyak lagi yang lain [2].

Cuma persoalannya, bagaimana caranya untuk membangunkan mereka dari “tidur”nya. Sebab bisa jadi mereka adalah perempuan-perempuan hebat yang sebenarnya “mampu”, tapi karena kemampuannya itu terkubur oleh beragam keterbatasan, sehingga mereka masih konstan dan tak kunjung “bangun”.

Perempuan Papua dengan Kesadaran Kritis

Yang ketiga adalah Kesadaran Kritis. Kesadaran ini jenis kesadaran yang paling ideal di antara jenis kesadaran sebelumnya. Pasalnya, kesadaran ini bersifat analisis sekaligus praksis. Seseorang yang memiliki kesadaran ini biasanya mampu memahami persoalan sosial disekitarnya, yaitu mulai dari pemetaan masalah, identifikasi serta mampu menentukan unsur-unsur yang mempengaruhinya. Disamping itu, ia juga mampu menawarkan solusi-solusi alternatif dari suatu problem sosial.

Pertanyaannya adalah seberapa banyak perempuan Papua yang memiliki kesadaran kritis? Tentu ada. Tapi tak banyak yang ada sekaligus tersohor. Yang cukup dikenal dan jadi emansipasi bagi wanita Papua sementara adalah seperti Almh. Olga Helena Hamadi, yang adalah sosok perempuan “pemberani”. Selain pernah menjadi pengacara HAM, dia juga pernah memimpin Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Papua di Jayapura pada tahun 2009, dan bekerja di divisi Sipil dan Politik Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua pada 2005 [3].

Selain itu adalah Yosepha Alomang atau Mama Yosepha. Beliau adalah seorang perempuan tokoh Amungme, Papua. Ia terkenal karena perjuangannya membela hak-hak asasi manusia, khususnya masyarakat di sekitar PT Freeport Indonesia. Perjuangan Mama Yosepha demi hak-hak asasi manusia di Papua mendapatkan pengakuan nasional dalam bentuk Penghargaan Yap Thiam Hien pada 1999, dan Anugerah Lingkungan Goldman pada 2001. Dengan uang yang diterimanya ketika ia memperoleh Penghargaan Yap Thiam Hien pada 1999, pada tahun 2001 ia mendirikan Yayasan Hak Asasi Manusia Anti Kekerasan (YaHAMAK) [4].

Selain kedua perempuan hebat ini, masih cukup banyak juga perempuan Papua hebat yang lain. Mereka adalah seperti Yohana Susana Yembise, Octaviyanti Blandina Ronsumbre, Carolina Cory Kayame, Briptu Maria Kotouki, Ariella Alberthina Yoteni, dan lain-lain. Banyak wanita Papua yang ‘dipandang’ kini bertebaran di mana-mana. Wanita sudah/kian masuk dalam lingkup yang dahulu mungkin hanya menjadi “mimpi”. Mengenai hal ini patut kita angkat topi.

Tapi mereka yang sedang di posisi kesadaran ini menanggung suatu peran dan tanggung jawab. Mereka harus membebaskan para segenus mereka di kedua fase kesadaran sebelumnya, yang masih bercokol dan dikungkung oleh berbagai cekikkan. Mereka harus memperjuangkan hak-hak kaumnya. Pemberian pemahaman, pemberdayaan berupa penyuluhan-penyuluhan harus mereka lakukan demi menyelamatkan kaum mereka yang masih pulas.

Berharap kepada orang lain itu mustahil. Apalagi pada laki-laki.  Toh tak banyak kaum laki-laki juga yang menaruh peduli dengan keadaan ini. Mereka bahkan sering sebaliknya mem”bola”i kaum perempuan. Siapa pun kita perempuan yang setidaknya mengerti tentang persoalan ini, mari kita menyelamatkan kaum kita yang lain. Kita inilah para pemeran. Kita sebenarnya dipilih. Mari kita mencari dan menyelamatkan domba-domba yang lain. Semuanya harus terselamatkan. Bukankah 1 dari 99 ekor domba yang lain sekalipun bagi Tuhan Yesus penting untuk diselamatkan? Mari sobat perempuan Papua, kita bangkit dan bikin sesuatu!


Sumber Kutipan:
_____________
[1] http://dokumen.tips/documents/teori-kesadaran.html
[2] Nama Tokoh Wanita/Perempuan Hebat Dunia yang Terkenal
[3] In Memoriam Olga Hamadi Pengacara HAM Papua
[4] Yosepha Alomang - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Sumber: Klik Disini

Share on Google Plus

About Ipmanapandode Joglo

IPMANAPANDODE JOG-LO adalah Organisasi Pelajar dan Mahasiswa Nabire,Paniai,Dogiyai dan Deiyai di Yogyakarta dan Solo.

0 comments:

Post a Comment