Saat Temu Pers di Kantor Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Yogyakarta/Foto: Abby Douw.
|
Yogyakarta- Alam berdemokrasi di Indonesia kembali tercoreng dengan adanya tindakan represif yang berlebihan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia di Daerah Istimewa Yogyakarta terhadap Mahasiswa Papua. Jum'at (27/1/17) lalu, massa aksi Mahasiswa Papua (AMP) bersama gabungan dari FRI-Jogja, dan Format Papua berjumlah lebih dari 100 orang hendak menggelar aksi damai menuntut pengusutan kasus pemukulan, diskriminasi dan sweeping terhadap masyarakat Dogiyai, serta penangkapan terhadap 6 (enam) aktivis rakyat Papua yang dijerat pasal makar oleh aparat keamanan Indonesia pada (19/1/16) lalu, tapi niat massa aksi diurungkan dan malah direpresif oleh aparat keamanan.
Kronologis Singkat Kejadian Massa Aksi Mahasiswa Papua 27 Januari 2017
Kira-kira pukul 07.15 WIB pihak Kepolisian sudah berjaga-jaga di depan Asrama Kamasan Papua dan sepanjang Jalan Kusumanegara. 2 (dua) buah mobil truk Dalmas, 1 (satu) buah mobil Humas Kepolisian sudah disediakan terlebih dahulu di depan pintu masuk gapura dan 1 (satu) truk Dalmas berada di sebelah barat Asrama Kamasan.
Pada pukul 10.05 WIB, massa aksi bergerak keluar dari Asrama Kamasan menuju Titik Nol KM Yogyakarta sesuai yang sudah ditentukan. Setelah massa aksi keluar dari Asrama, massa aksi langsung dihadang tepat di depan pintu gerbang Asrama Kamasan Papua, dimana pintu gerbang Asrama ditutup oleh pihak Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta, yang berkekuatan sekira lebih dari 200 pasukan gabungan Polda Daerah Istimewa Yogyakarta dan Polresta Yogyakarta.
Massa aksi dilarang keluar dari Asrama Kamasan Papua. Pintu gerbang Asrama pun ditutup paksa oleh pihak aparat Kepolisian. Koordinator massa aksi mencoba untuk bernegosiasi dengan pihak Kepolisian, bahwa aksi yang dibikin pihaknya adalah aksi damai, dan menunjukkan Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP) dari pihak polisi sebagai bukti perijinan.
Tetapi justru sekitar pukul 10.19 WIB, pihak aparat Kepolisian melakukan tindakan represif terhadap massa aksi, dan terjadi bentrok. Alhasil, 3 (tiga) orang Mahasiswa Papua dipukul, diseret paksa dan diangkut ke mobil truk polisi. 3 (tiga) orang Mahasiswa Papua yang di pukul oleh aparat kepolisian yaitu: (1) Ansel Gobai, dipukuli oleh pihak aparat kepolisian hingga pelipis mata kirinya pecah dan berdarah; (2) Jhon Gobai, dipukuli oleh aparat Kepolisian di lutut dan tulang keringnya, sehingga menyebabkan memar dan berdarah; dan (3) Yuli Waine, dipukuli oleh pihak aparat kepolisian hingga kepalanya berdarah.
Kekerasan demi kekerasan terus terjadi. Pembungkaman terhadap ekspresi politik orang asli Papua (Mahasiswa Papua dan Aktivis Pro Demokrasi) kini tengah berlangsung. Hal ini terbukti dengan adanya pelarangan terhadap para Mahasiswa Papua di Yogyakarta yang hendak melakukan aksi damai menuntut pengusutan kasus pemukulan, diskriminasi dan sweeping terhadap masyarakat Dogiyai serta penangkapan 6 aktivis rakyat Papua pada tanggal 19 desember 2016 lalu.
Kejadian ini merupakan gambaran situasi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Negara, yang hingga saat ini masih terus diperparah dengan pelbagai kasus penangkapan sewenang-wenang dan penganiayaan yang dilakukan aparat terhadap para aktivis pro demokrasi, dan pembela Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua. Hal ini pula menggambarkan buruknya kehidupan demokrasi bagi masyakarat Papua. Tidak adanya kebebasan berpendapat dan berkumpul, merupakan potret pengabaian konstitusi dan ancaman bahaya bagi cita-cita kesejahteraan dan pembangunan untuk rakyat Papua.
Tindakan represif aparat Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta berupa pemukulan terhadap para Mahasiswa Papua yang terjadi pada tanggal (27/1/17) lalu adalah bentuk pengebirian dari kebebasan berekpresi. Kekerasan fisik yang dilakukan oleh aparat Kepolisian untuk meredam suara-suara kritis merupakan upaya melemahkan aspirasi rakyat. Semestinya suara kritis yang muncul menjadi koreksi pemerintah untuk lebih baik dalam melayani kepentingan masyarakat. Bukan dengan memukuli, menangkapi, mengadili dan memenjarakan rakyat. Ini barbar.
* * *
Berangkat dari kronologis peristiwa dan hal-hal tersebut diatas, kami menilai bahwa tindakan represif oleh aparat kepolisian DIY terhadap para Mahasiswa Papua yang tergabung dalam AMP, FRI-Jogja, dan Format Papua merupakan bentuk pembungkaman ruang demokrasi dan pelanggaran atas Hak Asasi Manusia (HAM), berupa hak kekebasan berkespresi dan berpendapat yang telah dijamin UUD 1945 Pasal 28 dan Pasal 29 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia. Oleh sebab itu, kami mendesak dan menuntut kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk:
Pertama: Menjamin kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat bagi rakyat Papua,
Kedua: Menghentikan tindakan-tindakan represif aparat Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap setiap aksi-aksi rakyat dalam menyampaikan pendapat, khususnya terhadap aksi-aksi yang dilakukan oleh masyarakat maupun Mahasiswa Papua,
Ketiga: Menuntut kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) Indonesia untuk segera melakukan investigasi lapangan dengan serius atas pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat Kepolisian DIY dalam peristiwa tanggal (27/1/17) berdasarkan kronologis diatas, dan mengusut tuntas semua pelanggaran HAM di tanah Papua,
Keempat: Tindak dengan tegas dan memproses hukum Kapolda DIY dan jajaran lapangannya atas peristiwa yang terjadi pada tanggal (27/1/17),
Kelima: Copot Kapolda DIY dan Kapolresta Yogyakarta dari jabatannya,
Keenam: Bebaskan kawan kami Obby Kogoya dari segala tuntutan hukum atas perkara yang sedang berjalan,
Ketujuh: Bebaskan kawan-kawan aktivis Papua yang dijerat dengan pasal makar atas nama; Hiskia Meage, Eman Ukago, Hosea Yeimo, William Wim, Panus Hesegem, dan Ismail Alua yang ditangkap pada (19/12/16) oleh aparat Kepolisian yang sekarang sedang ditahan di Manado, Sulawesi Utara,
Kedelapan: Bubarkan Tim Gabungan GOMPRA (Giat Operasi Mantab Praja) utusan Polda Papua di wilayah Kabupaten Dogiyai, karena dalam melakukan aksi-aksi sweeping mereka telah berepresif dan merengut korban nyawa, dan
Kesembilan: Tarik semua militer baik yang organik maupun non-organik dari Tanah Papua.
* * *
Konferensi pers ini dikeluarkan dari tempat temu pers di Kantor Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Yogyakarta, pada tanggal 30 Januari 2017. Diketahui oleh Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Yogyakarta, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) Yogyakarta. (Herman E. Degei)
0 comments:
Post a Comment