Coretan Untuk Para Sahabat Papua

Foto.Doc.prib.Ist

Hari ini hampir 53 tahun integrasi itu lahir denan benih-benih kebingungan sampai lupa benar kita sudah lepas atau tidak. Pikiran itu selalu muncul hingga terbawa arus dan suasana dalam duka yang selalu kita alami setiap saat dan waktu. Lupa atau bingung tidak jelas identitasnya individu yang pegang peran sebagai pelajar-pelajar yang katanya punya keahlian dalam bidang tertentu dan berintelektual terus berkualitas lagi.

Sudah lama, hampir setengah abad integrasi itu menjadi momok untuk kitong.Mulai dari dilahirkan oleh rahim Perempuan Papua yang suci dan tak bernoda yaitu kitong pu mama sendiri hingga sampai saat ini. Tak nyangka semua berjalan ditengah arus yang memukau adanya lahir intelek-intelek baru di kalangan kita sendiri. Siapa heran kebingungan itu bukan hal yang biasa tapi tidak wajar kalau kita katakan itu hal wajar. Sekali dalam kurungan seperti di balik jeruji besi, penangkapan yang dialami para aktivis pergerakan di dalam dan luar kota, hingga yang lari ke luar negeri itu sudah menjadi sesuatu yang biasa saja tapi bukan wajar.

Secara pribadi saya sendiri masih momok kalau ada yang tanya kenapa sa tulis tulisan ini, bukan untuk direnungkan. Maaf. Bukan juga untuk di refleksi tapi kesadaran itu punya hati yang diberikan Tuhan kepada setiap individu tersebut.

Seiring berjalannya rezim otoriter yang melahirkan sebuah pergerakan baru dalam sebuah bingkai (bukan bangkai) negara Demokrasi Ala demokrasinya (Hegel) yang tercermin dalam cerminan kebinekaan mengingatkan kitong pada sebuah keharusan dan mewajibkan kita untuk tunduk pada yang dinamakan sebagai “NKRI Harga Mati” alias baku tipu. Urus kasus Budi Gunawan sampai penangkapan BW (Bambang Widjayanto) bukan bukan BMW alias kumpulan anak motor yang setiap hari cari nafka di sepanjang jalan pulau Jawa, saja belum tuntas. Sudah biasa politik kepala batu (politik no.3) di dunia kok sapa yang mau lawan. Yang lawan itu hanya kalau  ada responses balik dari pencuri itu sendiri alias pemerintah pusat (Maaf tidak menyindir).

Dengan rezim pasca Orde Lama, terbentuk baru lagi dengan semangat pejuang-pejuang yang katanya pejuang muda (pergerakan Mahasiswa) tapi dalam diskusi hari itu bukan peran Mahasiswa yang jatuhkan rezim tersebut, Mahasiswa itu cuma mainkan isu sama mengerasnya situasi. Sampai terbentuk demokrasi terpempin dalam Rezim Baru yaitu Rezim Reformasi yang dimulai denga pemilihan ulang.

Situasi semakin memanas dengan lahirnya pergerakan-pergerakan baru melalui “Tim 100” di Jayapura untuk melihat dan menindak lanjut persoalan Papua dengan membentuk tim pencari fakta hari itu. Bergulir hingga lahirnya yang dinamakan Gula-gula manis Otonomi Khusus di tahun 2001 (Jiwa Yang Patah). Nah, dari sinilah momok-momok liar itu terbangun dengan berbagai pakaian dan bentuk yang bercampuran di linear manusia Papua sendiri.

Hidup untuk damai dan sejahtera, siapa yang mau? Keluarlah draf dan undang-undang Otonomi Khusus, setelah itu dipahami dan ditelan mentah-mentah tanpa mementingkan kebersamaan itu. Mulailah memudar sebuah solidaritas dan integrasi sosial Papua itu sendiri.

Terbentuk elit-elit baru dikalangan masyarakat antara pemegang sosial (situasi meminta sebuah integrasi dengan Indonesia dibawah Otonomi Khusus) dan politik (kemerdekaan Papua), apa lagi yang tidak mau terlibat dengan kedua sudah mulai muncul bagai tawon kalau diganggu tempatnya dan berhamburan di luar karena sudah mengetahui sarangnya sedang diganggu gugat. Tapi ini prinsipnya beda keluar karena tra tahu dengan situasi.

Seiring politik pecah belah ala sistem kerajaan dulu mulai diterapkan di rakyat Papua. Mata buta mulai timbul seperti kalau seorang bisu dan tuli sedang berjalan sambil tidak memandang kanan dan kiri, alias main hantam-hantam, terserah ada yang panggil atau tidak. Sistem penerapan yang membodohi orang menyerang nilai budaya dan agama yang terlebih penting, karena sadar kebanyakan fanatik terlalu kelebihan batas. Budaya yang menjami hidup orang dan agama sebagai kepercayaan seseorang membanting sebuah pengormaban melalui Otsus yang meruba pola pikir manusia secara mendasar.
Kembali lagi, setelah kemenangan Pepera 1969 secara manupulasi oleh Indonesia, dibentuk secara paksa pemekaran bagi di Papua. Seperti diatas sistem pemecahan ala sistem kerajaan tadi. Begitu pun pemerintah pusat dan daerah malah buta melihat persoalan yang ada tidak tahu karena apa.

Semua lahir karena sebuah kepentingan belaka (Karl Marx), ada sesuatu yang sedang diperjuangkan oleh negara ini terhadap orang Papua. Kontrak PT Freeport juga menjadi korban atas dasar sebuah kepentingan Indonesia dan Amerika karena takutnya Indonesia pada rezim Orde Baru dikalahkan memiliki utang luar negeri yang begitu banyak, tra tahu kayanya sampai saat ini masih tersisa.

Pemekaran mulai bermunculan seperti kalau nonton film kartun (Aku Peta) yang (bingun) babingun mencari jalan untuk melihat-lihat kondisi untuk mengambil barang orang lain dengan cara politik pecah-belah ala kerajaan dulu. Kondisi itu yang sama diterapkan pula untuk kepentingan permainan pusat sebagai pintu pemusnahan etnis orang Papua sebagai tempat lahan ekonomi Global nanti.

Sampai saat ini, dan kondisi saat ini. Ketika itu sewaktu saya masih duduk di bangku kelas 01 SD hingga SMP kelas 02, suasana terbangunnya sebuah Identitas sebagai orang Papua semakin meningkat. Mengerasnya identitas (orang Papua) dan sadar kalau kita sedang dijajah, terbangun dengan sebuah kesadaran yang murni timbul dari diri kita sendiri. Sekolah formal dijadikan sebagai tempat pencapaian ilmu dan pengetahuan sebagai sebuah pembebasan, tapi bukan IPS yang diajarkan hanya pelajaran Hindu dan Budha hingga kerajaan-kerajaan di Jawa yang dipaksa untuk men-Jawanisasi orang Papua melalui sistem pendidikan formal, tapi untuknya mata pelajaran lain menjadi sebuah peran penting, lahirnya sebuah identitas karena dorongan guru-guru orang asli Papua yang juga adalah korbang rezim Orde Lama yang sadar untuk menanamkan rasa nasionalisme untuk dibangunkan untuk anak muridnya.

Reformasi murni dan perubahan murni dari tahun 2010 ke atas, orang Papua sudah benar-benar lupa dengan identitas sebagai seorang yang sedang dijajah melalui sistem demorasi murni pasca pemekaran. Semua mulai berlomba-lomba mengejar jabatan melalui sistem pecah-belah pemeritnah pusat.

Sekarang bagaimana dengan situasi mahasiswa dan pergerakan Papua sekarang. Uang sudah ada, makanan impor (beras raskin, indomie, dan makanan kemasan lainnya) sudah ada, semuanya sudah ada siapa yang mau bekerja untuk keturunanya dan siapa yang mau bekerja untuk bangsanya, dan siapa yang mau bekerja untuk generasinya kedepan. Sistem komunal orang Papua menjadi lazim lahirnya sebuah politik pendobrak sebuah peradaban orang Papua yang menjadi korban otokratis sistem baru. Bentrokan sebuah peradaban besar terjadi bagai batu yang dilemparkan di depan kaca dan tidak bisa untuk disusun kembali hanya saja yang bisa disusunkan adalah melalui sebuah instrumen pelengkat adanya sebuah kesamaan nilai ideologi dan nilai kesamaan pendapat melalui kesadaran itu sendiri.

Lapangan pekerjaan disediakan melalui lapangan pekerjaan Pegawai yang tunggu beberapa hari tahun dan tunggu kalau ada waktu terbuka CPNS baru semua mulai berlomba-lomba pasca kosongnya lahan baru yang dimainkan pemerintah pusat sampai saat ini alias pemekaran. Situasi bergulis hingga korban diatas korban dimakan mentah-mentah oleh pemerintah pusat sebagai penyetir kendaraan utama adalah Militer melalui TNI,Polri, BIN, Densus, dan anjing-anjing (menurut Togel alias permainan gelap) lainnya.

Rana itu muncul adanya situasi yang terbangun kalau “Maju Kena Mundur Kena”. Semua bergolak pemerintah melepaskan dan menyetir dan membiarkan semua persoalan yang ada dengan memberikan stigma KKB, Separatis, dan lain-lain. Padahal yang separatis itukan Belanda dulu yang ditelan oleh Indonesia dan memberikan stigma kepada orang Papua dengan stigma-stigma omong kosong itu.

Situasi mahasiswa sekarang sudah berbanding terbalik dengan lahirnya nasionalisme ganda (nasionalisme yang mendua) antara kepentingan dan tidak dengan lahirnya pemekaran-pemekaran baru di Papua. Ditambah lagi peredaran uang uang begitu banyak di lini kehidupan masyarakat mulai dari kampung-kampung yang hidupnya komunal hingga perkotaan di landaskan dengan kesamaan hidup yang berhamburan oleh pemerintah pusat melalui pemerintah daerah.

Dengan bergulirnya situasi organisasi sosial dengna stigma dan simbol persatuan antar kabupaten dan kota mulau bermuculan bagai ayam yang baru menetas induknya dan hilang beberapa bulan. Situasi bergulir pasca pemecah-pemalah melalui pemekaran dan otonomi khusus bagi orang Papua. Semakin pudarnya sebuah identitas dengan politik pecah-belah dengan tameng terbaling wajah sistem pemerintahan oleh Tan Malaka dengan membentuk Indonesia Serikat di bentuk dengan wajah Otonomi Khusus yang katanya harus berdiri sendiri ala Gusdur dengan memberlakukan pengibaran Bintang Kejora yang mendasari adanya sebuah persatuan politik pusat Indonesia.

Mahasiswa yang berintelek menjadi diintelekan, mahasiswa berbudi menjadi dibudikan alias dibodohkan karena sa juga korbannya, mahasiswa yang berprestasi menjadi diprestasikan, semua lambat laun bagai air yang mengalir tidak tahu dengan semua situasi yang sedang terbangun hingga sampai saat ini.

Sistem pengelompokan ruang dan dan tempat dalam pembedaan di putar balikkan oleh pergerakan sosial sendiri hingga belum menemukan titik ruang dan soluasi pasca pemekaran di tanah Papua. Ketidaksadaran itu timbul terus melewati arus modern dan globalisasi yang memicu kehidupan anak cucu kita tidak tahu yang akan datang nantinya bagaimana.

Terakhirnya, semua timbul hanya dengan sebuah sikap Fanatik yang menjadi-jadi dalam lingkungan kehidupan sosial masyarakt. Agama diperdebatkan panjang lebar yang dimainkan oleh sistem pasca pemekaran dan Otonomi Khusus, Budaya diperdebatkan panjang lebar sampai tra tahu dengan identitas dan situasi saat ini pasca adanya kedua Harimau (Otsus dan Pemekaran) di tidak legalkan di Papua. Sikap Fanatik harus dihentikan (titik)

Koyao...

@kudiai_m

Mee-pago, 26/01/2015, 20:55 pm

Sumber: Catatn Fb Mikael Kudiai
Share on Google Plus

About Ipmanapandode Joglo

IPMANAPANDODE JOG-LO adalah Organisasi Pelajar dan Mahasiswa Nabire,Paniai,Dogiyai dan Deiyai di Yogyakarta dan Solo.

0 comments:

Post a Comment